
SEJARAH KECAMATAN SAMBALIUNG Perlawanan dan Warisan Budaya di Kalimantan Timur
Sejarah Kesultanan Sambaliung: Perlawanan dan Warisan Budaya di Kalimantan Timur
Kecamatan Sambaliung adalah salah satu wilayah di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, dengan luas wilayah mencapai 2.167,37 km² dan jumlah penduduk sebanyak 36.839 jiwa (2020). Sambaliung memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan Kesultanan Sambaliung, sebuah kerajaan yang berdiri sejak tahun 1810 dan berperan penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Kesultanan Sambaliung merupakan pecahan dari Kesultanan Berau yang telah berdiri sejak abad ke-14. Pada tahun 1810, akibat politik adu domba yang diterapkan oleh Belanda, Kesultanan Berau dipecah menjadi dua kerajaan, yakni Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Awalnya, kesultanan ini bernama Tanjung, kemudian berubah menjadi Batu Putih, dan akhirnya menjadi Sambaliung pada tahun 1849. Sultan pertama yang memimpin Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam dengan gelar Sultan Alimuddin. Kesultanan
Sambaliung dikenal sebagai salah satu kekuatan yang gigih menentang penjajahan Belanda. Sultan Alimuddin berperan penting dalam perjuangan melawan kolonial dengan membentuk persekutuan bersama para pejuang dari Bugis, Sulu, dan Makassar. Mereka membangun benteng pertahanan di Batu Putih, Tanjung Mangkalihat. Belanda, yang merasa terganggu dengan perlawanan tersebut, mulai mengambil tindakan pada April 1834. Dengan dalih laporan dari Aji Kuning II, penguasa Gunung Tabur, bahwa Sultan Alimuddin dan sekutunya melakukan pembajakan kapal Belanda, pihak kolonial melancarkan serangan dan akhirnya menawan serta mengasingkan Sultan Alimuddin ke Makassar. Namun, perlawanan rakyat Sambaliung terus berlanjut. Pada 27 September 1834, Belanda menyerahkan pengelolaan Sambaliung kepada Kesultanan Gunung Tabur, yang semakin memicu kemarahan rakyat. Akhirnya, pada 24 Juni 1837, Sultan Alimuddin dikembalikan ke Sambaliung dan kembali memimpin perlawanan terhadap Belanda. Kesultanan Sambaliung mengalami kemunduran saat masa pendudukan Jepang. Meskipun pemerintahan kesultanan tetap dipertahankan, namun kekuasaan sejati berada di tangan Jepang. Rakyat dipaksa menyerahkan bahan pangan dan tenaga kerja untuk kepentingan perang Jepang, sehingga menyebabkan penderitaan dan kelaparan.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1960, Kesultanan Sambaliung resmi berakhir ketika wilayahnya digabungkan dengan Gunung Tabur untuk membentuk Kabupaten Berau. Sultan terakhir, Muhammad Aminuddin, kemudian diangkat sebagai bupati pertama di Kabupaten Berau. Warisan Kesultanan Sambaliung masih dapat ditemui hingga kini, salah satunya adalah Keraton Sambaliung yang terletak di tepi Sungai Kelay. Bangunan ini kini berfungsi sebagai museum yang menyimpan berbagai peninggalan sejarah, termasuk prasasti dengan aksara Bugis yang berisi aturan bagi rakyat yang melewati istana. Selain itu, terdapat meriam yang digunakan oleh Kesultanan Sambaliung dalam perlawanan melawan Belanda.
Sejak zaman dahulu, masyarakat Sambaliung menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang melimpah, seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian, dan perikanan. Keberagaman budaya juga menjadi ciri khas daerah ini, di mana berbagai suku seperti Berau, Dayak, Bugis, Bajau, dan Basap telah hidup berdampingan selama berabad-abad. Saat ini, Kecamatan Sambaliung terdiri dari 13 Kampung dan 1 kelurahan, yaitu Kampung Bena Baru, Kampung Gurimbang, Kampung Inaran, Kampung Long Lanuk, Kampung Pegat Bukur, Kampung Pesayan/Mengkajang,Kampung Pilanjau, Kampung Rantau Panjang, Kampung Sambaliung, Kampung Suaran, Kampung Sukan Tengah,Kampung Sungai Bebanir, Kampung Tanjung Perangat, dan Kampung Tumbit Dayak. Kesultanan Sambaliung adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Kalimantan Timur. Dengan latar belakang perjuangan melawan kolonialisme, kesultanan ini menjadi simbol ketahanan dan semangat juang masyarakat Berau. Hingga kini, peninggalan budaya dan sejarah Kesultanan Sambaliung tetap menjadi bagian penting dari identitas lokal, sekaligus destinasi wisata sejarah bagi generasi mendatang.
0 Komentar